Pages

Subscribe:

Selasa, 21 Mei 2013

UFC Akan Dipertandingkan di Indonesia

UFC Akan Dipertandingkan  di Indonesia
Kabar terbaru, UFC yang di tahun 2002 ditayangkan di stasiun televisi TPI, kini bukan lagi sekedar ditayangkan, bahkan akan dipertandingkan di Indonesia. Rencana pertandingan UFC tersebut merupakan kerja sama antara MNC Media dengan UFC. Rencana ini adalah bagian dari rencana UFC untuk memasuki pasar Asia, yang penyelenggaraannya di Indonesia bekerja sama dengan MNC Media. Beberapa rencana tambahan pada kerja sama ini adalah menjadikan Indonesia sebagai salah satu tuan rumah pada ajang UFC di masa mendatang.
Kedua pihak juga menjalankan acara Fighter Development Program untuk memajukan bidang olahraga ini dan menciptakan petarung Mixed Martial Arts (MMA) kelas dunia dari Indonesia. Dengan program ini, para peserta terpilih akan dikirim ke Amerika Serikat untuk mendapatkan pelatihan dari pelatih MMA kelas dunia agar dapat tampil pada pertarungan UFC di masa depan.
UFC, Layakkah Disebut Sebagai Olah Raga?
Sebelumnya saya coba mengutip judul artikel “Olah Raga Tinju, Masih Layakkah Dipertontonkan?”, yang ditulis oleh kompasianer Juru Martani. Ada lagi artikel serupa berjudul “Tinju, Masih Layakkah Disebut Olahraga?” yang ditulis oleh kompasianer Edy Priyono. Kedua artikel tersebut dilatar belakangi oleh meninggalnya seorang petinju muda asal Lampung Tubagus Setia Sakti diatas ring, ketika bertarung melawan Ical Tobida  dalam Kejuaraan Nasional Ad Interim Versi KTPI yang di gelar di Jakarta.
Kejadian tersebut memang bisa disebabkan oleh faktor human, misalnya kondisi fisik atau stamina yang kurang fit pada atlet sebelum bertanding. Namun tak dapat disangkal, bahwa tinju memang merupakan olahraga yang sarat risiko. Pukulan yang dihunjamkan dapat mengenai setiap anggota badan lawan tanding. Pukulan yang mengarah ke kepala, akan sangat fatal akibatnya jika mengenai bagian dagu atau rahang. Dagu dan rahang adalah bagian terlemah dalam pertandingan tinju. Saya jadi teringat dengan petinju muda berbakat yang disebut-sebut akan menjadi juara Indonesia, yaitu Muhammad Alfarizi. Gaya bertinju Alfarizi sangat menarik ditonton dan kombinasi pukulannya komplit. Bahkan ada yang menyebut gaya betinju Alfarizi mirip-mirip Nasem Hamed. Namun akhirnya Alfarizi juga meninggal setelah bertarung melawan Kong Thawat Ora dari Thailand (tahun 2000). Alfarizi adalah petinju yang bagus, tapi sangat lemah pada bagian dagu dan rahang.
Nah, jika olah raga tinju saja dipertanyakan kelayakannya untuk dipertontonkan, bahkan dipertanyakan pula apakah termasuk olah raga atau bukan, maka pertanyaan yang lebih tajam layak ditujukan pada pertarungan UFC. Dilihat dari cara bertarung yang mengkombinasikan berbagai aliran bela diri, yang artinya memungkinkan berbagai teknik serangan digunakan, maka UFC ini jauh lebih beresiko dibandingkan dengan tinju. Hanya memang jumlah rondenya lebih sedikit dibandingkan dengan tinju.
Tapi yang sangat terasa ketika menonton pertandingan UFC adalah kesan “kengerian” ketika pertarungan berakhir dengan teknik pertarungan di bawah (submission grappling takedowns). Setelah lawan berhasil dijatuhkan, maka serangan masih boleh dilanjutkan dengan pukulan ke arah kepala, mengunci dengan tangan atau pun kaki. Ini yang mengerikan. Petarung yang yang berada di bawah, akan sulit bertahan atau menangkis jika diserang dengan pukulan yang bertubi-tubi. Maka tak jarang petarung tersebut akan berlumuran darah terkena pukulan yang bertubi-tubi. “Kengerian” berikutnya adalah ketika menyaksikan teknik kuncian yang mematikan. Kuncian di UFC bukan seperti di judo atau jujitsu, yang akan segera dipisah oleh wasit jika sudah menghasilkan angka. Di UFC, kita akan melihat kuncian dalam waktu yang lama, sampai salah satu petarung melakukan tap atau menyerah. Saya pernah menonton UFC (waktu itu saya menonton Royce Grazie), ketika lawan Grazie terkena teknik kuncian, saya sempat berpikir tangannya atau kakinya akan patah. Terakhir, yang lebih mengerikan adalah bahwa UFC mengijinkan kuncian dengan sasaran pada leher. Kuncian ini terlihat seolah seperti mencekik leher. Akibatnya memang seperti kalau dicekik, sulit bernafas, dan akhirnya harus menyerah.
Ketika menonton UFC di TPI waktu itu (tahun 2002), saya memang cukup menikmatinya. Mungkin karena melihat hal yang baru dan seru, yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Tapi kini, seiring dengan bertambahnya usia, saya mulai memikirkan hal yang lebih luas. Bukan lagi kesenangan ketika menonton pertandingan bela diri yang keras, tapi lebih pada esensi bela diri yang sebenarnya. Saya ingin tetap mengambil esensi bela diri sebagai olah raga, seni dan pembinaan mental. Saya teringat, bahwa kyokushin karate yang dikembangkan oleh Mas Oyama, pernah dianggap “bukan karate” oleh aliran-aliran karate yang ada saat itu, karena sistem full contact kumite yang digunakannya. Padahal di kyokushin juga sarat dengan filsafat dan prinsip bela diri yang tinggi.
Kini UFC akan ditayangkan lagi di RCTI. Kali ini saya tidak akan menikmatinya lagi. Saya menilai UFC memang sebuah tontonan yang menarik, tapi tidak lagi sebagai olah raga yang menekankan fair play dan sportivitas. Ketika nantinya para atlet atau praktisi bela diri dari berbagai aliran memutuskan untuk ikut mendaftar di ajang yang diselenggarakan oleh MNC Media tersebut, apakah yang terpikir oleh calon petarung tersebut? Apakah ia masih meyakini prinsip-prinsip bela diri sebagaimana yang disumpahkannya setiap mengawali latihannya? Kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), bagaimana kebijakannya terhadap penayangan pertarungan UFC ini? Apakah akan dilarang, sebagaimana smackdown (WWE) yang pernah dilarang oleh KPI? Atau diperbolehkan dengan pembatasan?
Dalam hal rencana akan dipertarungkannya UFC di Indonesia, faktor keselamatan petarung adalah hal paling utama yang harus diperhatikan. Jangan karena mengejar rating dari bisnis pertunjukan UFC ini, faktor keselamatan petarung jadi terabaikan. Di sisi lain, pengaruhnya terhadap tumbuhnya budaya kekerasan juga harus diperhatikan. Inilah yang terjadi ketika KPI memutuskan melarang penayangan smackdown ketika itu.

0 komentar:

Posting Komentar