UFC Akan Dipertandingkan di Indonesia
Kabar terbaru, UFC yang di tahun 2002 ditayangkan di stasiun televisi TPI, kini bukan lagi sekedar ditayangkan, bahkan akan dipertandingkan di Indonesia.
Rencana pertandingan UFC tersebut merupakan kerja sama antara MNC Media
dengan UFC. Rencana ini adalah bagian dari rencana UFC untuk memasuki
pasar Asia, yang penyelenggaraannya di Indonesia bekerja sama dengan MNC
Media. Beberapa rencana tambahan pada kerja sama ini adalah
menjadikan Indonesia sebagai salah satu tuan rumah pada ajang UFC di
masa mendatang.
Kedua pihak juga menjalankan
acara Fighter Development Program untuk memajukan bidang olahraga ini
dan menciptakan petarung Mixed Martial Arts (MMA) kelas dunia dari
Indonesia. Dengan program ini, para
peserta terpilih akan dikirim ke Amerika Serikat untuk mendapatkan
pelatihan dari pelatih MMA kelas dunia agar dapat tampil pada
pertarungan UFC di masa depan.
UFC, Layakkah Disebut Sebagai Olah Raga?
Sebelumnya saya coba mengutip judul artikel “Olah Raga Tinju, Masih Layakkah Dipertontonkan?”, yang ditulis oleh kompasianer Juru Martani. Ada lagi artikel serupa berjudul “Tinju, Masih Layakkah Disebut Olahraga?” yang ditulis oleh kompasianer Edy Priyono. Kedua artikel tersebut dilatar belakangi oleh meninggalnya
seorang petinju muda asal Lampung Tubagus Setia Sakti diatas ring,
ketika bertarung melawan Ical Tobida dalam Kejuaraan Nasional Ad
Interim Versi KTPI yang di gelar di Jakarta.
Kejadian tersebut memang bisa
disebabkan oleh faktor human, misalnya kondisi fisik atau stamina yang
kurang fit pada atlet sebelum bertanding. Namun tak dapat disangkal,
bahwa tinju memang merupakan olahraga yang sarat risiko.
Pukulan yang dihunjamkan dapat mengenai setiap anggota badan lawan
tanding. Pukulan yang mengarah ke kepala, akan sangat fatal akibatnya
jika mengenai bagian dagu atau rahang. Dagu dan rahang adalah bagian
terlemah dalam pertandingan tinju. Saya jadi teringat dengan petinju
muda berbakat yang disebut-sebut akan menjadi juara Indonesia, yaitu
Muhammad Alfarizi. Gaya bertinju Alfarizi sangat menarik ditonton dan
kombinasi pukulannya komplit. Bahkan ada yang menyebut gaya betinju
Alfarizi mirip-mirip Nasem Hamed. Namun akhirnya Alfarizi juga meninggal
setelah bertarung melawan Kong Thawat Ora dari Thailand (tahun 2000). Alfarizi adalah petinju yang bagus, tapi sangat lemah pada bagian dagu dan rahang.
Nah, jika olah raga tinju saja
dipertanyakan kelayakannya untuk dipertontonkan, bahkan dipertanyakan
pula apakah termasuk olah raga atau bukan, maka pertanyaan yang lebih
tajam layak ditujukan pada pertarungan UFC. Dilihat dari cara bertarung
yang mengkombinasikan berbagai aliran bela diri, yang artinya
memungkinkan berbagai teknik serangan digunakan, maka UFC ini jauh lebih
beresiko dibandingkan dengan tinju. Hanya memang jumlah rondenya lebih
sedikit dibandingkan dengan tinju.
Tapi yang sangat terasa ketika
menonton pertandingan UFC adalah kesan “kengerian” ketika pertarungan
berakhir dengan teknik pertarungan di bawah (submission grappling
takedowns). Setelah lawan berhasil dijatuhkan, maka serangan masih boleh
dilanjutkan dengan pukulan ke arah kepala, mengunci dengan tangan atau
pun kaki. Ini yang mengerikan. Petarung yang yang berada di bawah, akan
sulit bertahan atau menangkis jika diserang dengan pukulan yang
bertubi-tubi. Maka tak jarang petarung tersebut akan berlumuran darah
terkena pukulan yang bertubi-tubi. “Kengerian” berikutnya adalah ketika
menyaksikan teknik kuncian yang mematikan. Kuncian di UFC bukan seperti
di judo atau jujitsu, yang akan segera dipisah oleh wasit jika sudah
menghasilkan angka. Di UFC, kita akan melihat kuncian dalam waktu yang
lama, sampai salah satu petarung melakukan tap atau menyerah. Saya
pernah menonton UFC (waktu itu saya menonton Royce Grazie), ketika lawan
Grazie terkena teknik kuncian, saya sempat berpikir tangannya atau
kakinya akan patah. Terakhir, yang lebih mengerikan adalah bahwa UFC
mengijinkan kuncian dengan sasaran pada leher. Kuncian ini terlihat
seolah seperti mencekik leher. Akibatnya memang seperti kalau dicekik,
sulit bernafas, dan akhirnya harus menyerah.
Ketika menonton UFC di TPI waktu
itu (tahun 2002), saya memang cukup menikmatinya. Mungkin karena melihat
hal yang baru dan seru, yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Tapi
kini, seiring dengan bertambahnya usia, saya mulai memikirkan hal yang
lebih luas. Bukan lagi kesenangan ketika menonton pertandingan bela diri
yang keras, tapi lebih pada esensi bela diri yang sebenarnya. Saya
ingin tetap mengambil esensi bela diri sebagai olah raga, seni dan
pembinaan mental. Saya teringat, bahwa kyokushin karate yang
dikembangkan oleh Mas Oyama, pernah dianggap “bukan karate” oleh
aliran-aliran karate yang ada saat itu, karena sistem full contact
kumite yang digunakannya. Padahal di kyokushin juga sarat dengan
filsafat dan prinsip bela diri yang tinggi.
Kini UFC akan ditayangkan lagi di
RCTI. Kali ini saya tidak akan menikmatinya lagi. Saya menilai UFC
memang sebuah tontonan yang menarik, tapi tidak lagi sebagai olah raga
yang menekankan fair play dan sportivitas. Ketika nantinya para atlet
atau praktisi bela diri dari berbagai aliran memutuskan untuk ikut
mendaftar di ajang yang diselenggarakan oleh MNC Media tersebut, apakah
yang terpikir oleh calon petarung tersebut? Apakah ia masih meyakini
prinsip-prinsip bela diri sebagaimana yang disumpahkannya setiap
mengawali latihannya? Kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), bagaimana
kebijakannya terhadap penayangan pertarungan UFC ini? Apakah akan
dilarang, sebagaimana smackdown (WWE) yang pernah dilarang oleh KPI?
Atau diperbolehkan dengan pembatasan?
Dalam hal rencana akan
dipertarungkannya UFC di Indonesia, faktor keselamatan petarung adalah
hal paling utama yang harus diperhatikan. Jangan karena mengejar rating
dari bisnis pertunjukan UFC ini, faktor keselamatan petarung jadi
terabaikan. Di sisi lain, pengaruhnya terhadap tumbuhnya budaya
kekerasan juga harus diperhatikan. Inilah yang terjadi ketika KPI
memutuskan melarang penayangan smackdown ketika itu.
0 komentar:
Posting Komentar